Jas Almamater Sang Supir Angkot

- 2 Mei 2020, 16:29 WIB
IMG-20200502-WA0013
IMG-20200502-WA0013

Tiara Maulinda Habibah, Aksara Jabar.

“Saya kuliah, Abah udah gak ada, nyesel. Padahal saya bisa bayar kuliah dari hasil narik angkot peninggalan Abah,” sesal Reza.

SUBANG- Seingatnya, hari itu adalah hari yang membuatnya bahagia. Segera ia pulang ke rumah untuk mengabari sang nenek bahwa dirinya, Muhamad Reza Ferdianyah, yang dulu terkenal sebagai si pembuat masalah kini telah resmi menjadi mahasiswa jurusan PPKn di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (STKIP) Subang.

Tak pernah terbayang dalam benaknya bisa sampai mewujudkan cita-citanya, memakai jas almamater, seperti kebanyakan mahasiswa lain.
Reza menuturkan kisahnya ini dengan penuh haru dan bangga.

Tumbuh besar di terminal bersama sang kakek yang berprofesi sebagai supir angkutan umum membuatnya bebal. Berkelahi antar murid bukan kelasnya. Ia bercerita, preman pasar sampai bandit di klub malam pernah berduel dengannya.

Dikeluarkan dari sebuah sekolah kejuruan negeri juga pernah. Dianggap anak nakal.
“Saat dikeluarkan dari sekolah tersebut, pikiran saya kacau. Saya bilang ke teman-teman bahwa hari itu saya hanya ingin mabuk separah mungkin.

Waktu itu, uang yang dipakai mabuk adalah uang yang saya curi dari Abah (kakeknya) sebesar Rp200 ribu,” ungkap remaja yang telah kehilangan ibunya saat berusia satu tahun.

Mabuk berat, Reza diantar temannya ke rumah. Sejak kecil Reza tinggal bersama kakek neneknya. Saat itu hari sudah menjelang subuh. Dengan sabar, kakeknya membasuh tubuh dan membaringkan Reza di ruang tengah.



Titik Balik
“Saya ingat betul waktu itu Abah bilang, ‘Za, Abah ke masjid dulu ya. Abah doakan kamu supaya cepat taubat’. Lalu saya dengar Abah mengumandangkan adzan. Ada perasaan sedih ketika itu,” kenangnya.

Ia menyebut, peristiwa di hari tersebut merupakan titik baliknya. Reza juga mendengar sang nenek menangis dalam do’anya. “Emak (panggilan Reza terhadap sang nenek) berdo’a meminta agar Allah menjadikan cucunya menjadi anak soleh dan diberikan hidayah. Do’a tersebut bagai tamparan keras,” ujarnya.

Reza langsung tersungkur dan mencium kaki sang nenek. Hatinya bergetar saat neneknya bilang bahwa dirinya tak bisa memberikan do’a untuk nenek dan kakeknya jika kelak tiada. Terlebih sang ibu telah mendahului mereka.

Bagi sang nenek, hanya do’a dari anak soleh yang ia harapkan. Ia tak peduli kelak cucunya menjadi orang yang memiliki banyak harta tapi lalai atas perintah Tuhan.

“Saya hanya bisa menangis. Abah dan emak banyak mengajarkan nilai hidup. Abah yang datang dari masjid juga memberikan nasihat, ‘Za, kami Cuma minta kamu jadi anak soleh. Lihat Abah meskipun hidup jadi supir angkot, tapi kalau punya dasar agama hidup lebih lurus dan Allah selalu mencukupkan’,” kenangnya.

Setelah peristiwa itu, Reza bertekad memperbaiki diri dan memilih tinggal di pesantren untuk mendalami agama dan bertaubat. Lingkungan pesantren juga menempa dirinya menjadi anak yang lebih mandiri.

Ingin Kembali Sekolah
Setelah delapan bulan di pesantren, rasa rindu terhadap sekolah kembali tumbuh di hati Reza. Setelah berdiskusi dengan ustadz dan sang Ayah, Reza akhirnya diperbolehkan kembali sekolah dengan syarat mencari sekolah dan mengurus segala persyaratannya tanpa bantuan.
“Akhirnya saya mendaftar ke beberapa sekolah, tapi ditolak.



Saya sangat sedih. Kenapa saat ingin sekolah malah gak ada yang mau terima. Lalu saya salat istikharah. Alhamdulillah di malam ketujuh, Kakak saya yang mengajar di SMAN 1 Serangpanjang memberikan tawaran untuk sekolah disana sekaligus membiayainya,” tuturnya kepada Aksara Jabar.com.

Kehidupan baru dan cita-cita mulai ia gantungkan saat menuntut ilmu di sekolah ini. Watak keras yang dimilikinya tak serta merta hilang. Godaan untuk kembali ke jalan yang salah juga tak sedikit. Disini Reza berusaha melawan pengaruh negatif demi mengembalikan kepercayaan orang tua dan keluarga yang telah memberikan ia kesempatan.

“Di SMAN 1 Serangpanjang saya merasa mendapat banyak kesempatan. Walaupun jarak yang ditempuh dari rumah cukup jauh. Waktu SMP mah boro-boro aktif. Disini saya aktif di ekskul Pramuka sampai diangkat menjadi Dewan Ambalan dan setelah lulus juga ikut menjadi pelatih pramuka,” kenangnya.

Meskipun telah berusaha, pandangan miring terhadap dirinya. Hal tersebut seringkali membuat Reza putus asa. Namun takdir mempertemukannya dengan seorang guru, yang menurutnya, mampu mendampingnya di masa transisi tersebut.

“Bagi saya, dia bukan sekadar guru. Tapi seperti kakak dan sahabat. Kalau saya lagi putus asa, beliau suka kasih saran positif. Kalau saya lagi ngeluh, beliau yang selalu ada untuk memberi saya semangat,” ujarnya.



Cita-cita jadi mahasiswa
Anggapan miring dari sebagian orang tak membuat semangatnya padam. Keinginan untuk melanjutkan pendidikan tinggi selalu bersemayam di hatinya. Tapi, Reza belum memiliki cukup biaya waktu itu. Akhirnya ia memilih untuk terus membantu sang Kakek menjadi supir angkot sembari menjadi pelatih pramuka.

Sedikit demi sedikit ia kumpulkan uang untuk biaya kuliah. Namun, beberapa bulan sebelum ia mendaftar kuliah, sang Kakek wafat. “Abah wafat saat sedang mengendarai angkotnya. Abah tak sempat lihat Reza kuliah,” sesalnya.

Sampai pada saat ia diterima kuliah di STKIP Subang, meski sempat didera rasa malu dan minder, akhirnya Reza memutuskan untuk membiayai kuliahnya dengan uang dari hasil menjadi supir angkot. Alhasil, mungkin hanya di angkot miliknya orang bisa melihat jas almamater tersangkut di jok supir.

“Sebelum berangkat kuliah saya narik penumpang dulu. Pulang kuliah juga begitu. Kadang ada yang minta diajarkan menyetir. Saya juga menawarkan jasa supir di kampus. Lumayan hasilnya buat bayar uang kuliah,” tuturnya.



Terpaksa Jual Angkot
Pandemi Corona atau Covid-19 yang membuat segala aktivitas dibatasi membuat Reza harus memutar otak untuk membiayai hidup dan biaya reparasi angkot peninggalan Abahnya yang sudah cukup tua.

Ia mengungkapkan hasil dari narik angkot turun drastis dan tidak ada panggilan jasa supir. “Angkotnya terpaksa dijual bulan Maret kemarin. Biaya turun mesinnya mahal.

Lagi gak ada uang. Padahal angkot itu banyak kenangannya. Peninggalan Abah juga,” tuturnya pelan seakan menyimpan sesal.

Akibat angkot peninggalan sang Kakek dijual, Reza kini juga bingung karena menunggak biaya kuliah.
“Sekarang masih nunggak. Tapi saya tidak akan berhenti kuliah. Nanti setelah wabah berakhir, saya akan cari uang dengan menjadi supir truk pengangkut pasir atau batu.

Pasti banyak jalan untuk menyelesaikan pendidikan asal kita bertekad. Kan kata Abah dulu, Allah pasti bantu kita kalau jalan kita benar,” pungkasnya. (tiara)

Editor: Aksara Jabar


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x